SEPOTONG EPISODE DARI MASJID KUIN BANJARMASIN

Masjid Sultan Suriansyah, Jalan Kuin Utara, Banjarmasin Utara (M. Linggaraka T.H.A.)

BANJARMASIN – Seluruh masyarakat kota Banjarmasin kiranya sepakat dengan pernyataan bahwa Banjarmasin adalah kota yang kaya akan budayanya. Budaya tesebut bisa berbentuk budaya materiil maupun budaya non materiil. Budaya materiil itu berupa bangunan-bangunan kebudayaan yang tentunya memiliki nilai historis dan kultural yang tinggi. Sementara, budaya non materiil adalah budaya yang tidak berbentuk fisik seperti tradisi-tradisi adat tertentu. Khazanah kebudayaan tentunya patut kita rawat, pelihara dan syukuri. Salah satu kebudayaan materiil yang ada di Kota Banjarmasin adalah Masjid Kuin atau yang lebih dikenal dengan Masjid Sultan Suriansyah. Masjid ini adalah salah satu keindahan dari budaya yang dimiliki oleh kota Banjarmasin. Bagaimana tidak, masjid yang berada di Jalan Kuin Utara, Banjarmasin Utara ini adalah masjid tertua dan sangat kaya akan nilai sejarah.

Sejarah berawal ketika Kerajaan Negara Daha masih dipimpin oleh Maharaja Sukarama. Ia memiliki empat orang anak, yaitu tiga orang putra dan seorang putri. Mereka adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, Pangeran Bagalung, dan Putri Galuh. Tradisi pada saat itu, ketiga putranya adalah yang akan mewarisi tahta kerajaan dari sang Raja. Akan tetapi, Maharaja Sukarama mengambil keputusan yang terbilang kontroversial. Sang Raja berwasiat apabila dirinya meninggal, maka tahta kerajaan akan diwariskan kepada cucunya, yaitu Pangeran Samudera. Mengetahui akan wasiat sang Raja, Pangeran Tumanggung dan Pangeran Bagalung langsung menentang wasiat ayahnya tersebut. Mereka beranggapan bahwa Pangeran Samudera masih sangat kecil dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi seorang Raja. Suasana kerajaan semakin memanas setelah Maharaja Sukarama meninggal dunia. Diri seorang Pangeran Samudera pun terancam yang pada saat itu masih berumur 10 tahun. Hingga pada akhirnya, Pangeran Samudera harus keluar dari istana menggunakan jukung untuk menyusuri sungai. Setelah perjalanan selama belasan tahun dan menyamar sebagai seorang nelayan, Pangeran Samudera berjumpa dengan Patih Masih di perkampungan Kuin. Mereka berkenalan dan berbincang sampai pada titik dimana terungkaplah bahwa nelayan muda tersebut adalah Pangeran Samudera. Dengan dukungan patih-patih lain dan rakyat disana, Patih Masih mengangkat Pangeran Samudera sebagai Raja Kerajaan Banjar yang sekaligus melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha.

Pada saat itu, Kerajaan Negara Daha dipimpin Pangeran Tumanggung menggantikan tugas kakaknya, Pangeran Mangkubumi yang telah tewas dibunuh. Hadirnya informasi bahwa Pangeran Samudera masih hidup dan menjadi Raja di Kerajaan Banjar, sontak saja Pangeran Tumanggung langsung naik pitam dan menyatakan perang kepada Kerajaan Banjar. Dalam peperangan itulah Kerajaan Banjar mendapatkan bantuan dari Kerajaan Demak dengan syarat, Pangeran Samudera dan pengikutnya menjadi pemeluk agama Islam. Akhinya peperangan berakhir, karena Pangeran Tumenggung dapat diluluhkan hatinya saat berhadapan dengan Pangeran Samudera.

Setelah memeluk Islam pada 1526 M dibantu oleh ulama yang berasal dari Demak yaitu Khatib Dayyan, Pangeran Samudera berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. Saat itulah dibangun sebuah masjid pertama di Tanah Banjar sebagai suatu tempat ibadah yang memadai untuk menampung kaum muslimin Banjar yang semakin hari semakin bertambah. Sebelumnya, mayoritas suku Banjar adalah pemeluk agama Hindu. Kemudian, masjid ini diberi nama Masjid Sultan Suriansyah yang didasari pada pembangunannya yang dilakukan pada masa pemerintahan beliau.

“Pada awalnya masjid ini dibangun di pinggiran sungai. Ada beberapa alasan atas hal tersebut, yang pertama adalah dahulu itu transportasi yang dapat diakses hanya melalui jalur sungai saja, karena itulah kita terkenal dengan kota seribu sungai. Waktu itu belum ada daratan yang berupa tembusan-tembusan jalan. Masyarakat hanya mengunakan perahu. Kalau ingin mengambil air wudhu pun langsung dari air sungai juga, jadi dibangunlah masjid ini di pinggiran sungai. Kemudian, alasan yang kedua ialah keseluruhan rumah masyarakat Banjar berada di pinggiran sungai. Segala aktifitas pada saat itu dilakukan dipinggir sungai. Namun Alhamdulillah sekarang jalan melalui daratan telah tersedia dan dapat diakses melalui berbagai macam tembusan jalan. Kemudian, bangunan ini memang ada beberapa kali perombakan, seperti diperluas dan diperkuat. Dahulu lebar bangunannya hanya selebar mushola atau surau saja. Terkhusus motif, tetap dikembalikan seperti awal masjid ini dibangun,” jelas Muhammad Zailani (33) selaku Staff di Masjid Sultan Suriansyah.

Bagian dalam Masjid Sultan Suriansyah, Jalan Kuin Utara, Banjarmasin Utara.

Nilai sejarah yang begitu kuat dari Masjid Sultan Suriansyah, menjadikannya tergolong sebagai destinasi wisata kuno di Kalimantan Selatan. Di usianya yang telah menginjak 490 tahun, masjid ini masih dibaluti oleh nilai-nilai budaya. Awal dibangunnya masjid ini hanya berbahan kayu halayung dan atapnya berbahan rumbia. Arsitektur bangunan pada masjid ini terdapat pengaruh besar dari masjid di Demak, Jawa Tengah. Hal itu didasari karena memang penyebaran Islam di Kalimantan Selatan pada awalnya berasal dari Demak. Tidak heran, kubah masjid ini memiliki motif yang diambil dari masjid Demak yaitu tumpang tiga lancip. Meskipun pengaruh dari masjid Demak terbilang besar, namun tidak seutuhnya masjid ini bernuansa seperti masjid di Demak. Bangunan masjid ini bertipe panggung khas bangunan Banjar yang memiliki tujuan awal untuk menghindari genangan air serta gangguan binatang.

Masjid ini sangat kental dengan budaya Banjar dan nilai-nilai akidah Islam, terlihat dari arsitekturnya yang menggunakan bangunan berundak bertingkat empat khas Banjar. Tiap tingkatannya memiliki arti yang didasari dari tingkatan ilmu. Tingkatan paling dasar adalah tingkatan ilmu syariat yang berarti ilmu itu sendiri. Tingkatan kedua adalah ilmu tarikat yang berarti apabila telah memiliki ilmu maka harus diamalkan, karena ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Tingkatan ketiga yaitu hakikat, artinya segala pertolongan hanya datang dari Allah. Kemudian, tingkatan terakhir atau tingkatan keempat adalah marifat, yaitu mengenal Allah dengan cara mengenal sifat dan asma-Nya.

Di bagian lainnya terdapat ukiran-ukiran khas Banjar seperti nanas, manggis, tali dan bunga, yang dimana semuanya memiliki arti khusus tentang karakter pada diri orang Banjar. Nanas memiliki arti sebagai pembersih hati dan jiwa yang kotor dari nafsu-nafsu setan. Kalau manggis menyimbolkan seburuk-buruknya manusia, pasti ada sisi baiknya. Kemudian, simbol tali yang bermakna ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama orang Islam. Sedangkan bunga menyimbolkan keindahan akhlak, budi pekerti, dan sebagainya.

Terdapat lima pintu di masing-masing bagian masjid ini. Lima pintu di kanan, di kiri, dan di belakang. Hal ini menggambarkan bahwa sholat lima waktu itu sangat penting dan jangan pernah ditinggalkan. Kemudian di bagian depan terdapat dua pintu. Sehingga memiliki arti, lima dikali tiga dan ditambah dua akan menghasilkan angka tujuh belas yang memiliki arti jumlah rakaat dalam sholat lima waktu. Setiap pintu terdapat ukiran-ukiran seperti lafadz bismillah, assalamu’alaikum, sholawat, dan lain-lain, yang bermksud untuk selalu mengingat dan berzikir kepada Allah. 

Masjid Sultan Suriansyah ini sangat mudah untuk dijangkau. Letak spesifiknya di tepi Sungai Kuin, Kota Banjarmasin. Dapat dijangkau melalui jalur darat dengan kendaraan umum seperti ojek maupun kendaraan pribadi, dan juga dapat melalui jalur air dengan perahu atau kelotok. Sekitar 200 meter dari lokasi masjid terdapat kompleks makam Sultan Suriansyah yang dahulunya adalah sebagai istana Sultan Suriansyah.

“Kami berharap kepada semua pihak agar dapat berkumpul di masjid ini dengan rutin untuk melaksanakan kewajiban ibadah sholat lima waktu secara berjamaah dan saling bersilaturahmi. Selebihnya kepada para pemimpin dan pejabat kita, semoga adanya perhatian yang lebih terkait masalah kemaslahatan seperti bersosialisasi dan memberikan bantuan dana untuk pembenahan bangunan yang sudah ada, dan menambah fasilitas lainnya yang saat ini belum ada seperti menara. Biar bagaimana pun, kita harus menjaga dan melestarikan bersama-sama masjid ini yang notabennya adalah masjid tertua di Kalimantan Selatan. Kami memang ingin menjadikan masjid ini semakin berkembang, namun semua itu perlu adanya bantuan dari segala pihak. Paling tidak, ulama dan masyarakat semakin rajin ke masjid ini. Masjid ini memang terletak di pedesaan, jadi dapat dikatakan jarang ada orang yang datang untuk beribadah kesini kecuali memang dari awal berniat untuk berkunjung. Keberadaan masjid ini tidak seperti masjid-masjid besar lainnya yang terletak di perkotaan, sehingga siapa saja yang lewat dapat dengan mudah melaksanakan ibadah disana.” Ucap Zailani dengan penuh harapan dan doa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELAWAN FITRAH WANITA DEMI KEHIDUPAN KELUARGA

GENGSI? BUAT APA?

PUNCAK EDELWEISS 2014